Penjelasan MUI Soal Fatwa Haram Penggunaan Mata Uang Kripto

Cryptocurrency atau mata uang kripto (foto : pixabay)
JAKARTANEWS | JAKARTA - Cryptocurrency atau kripto merupakan mata uang digital yang dirancang dengan kode sandi rahasia digunakan sebagai alat transaksi virtual dari satu orang ke orang lain secara online.
Sejak awal boming mata uang digital ini sangat digandrungi dan populer. Beragam jenisnya yang masing-masing memiliki karakteristik mulai dari Bitcoin, Litcoin, Dogecoin, XRP, Etherium, Tether, dan lain sebagainya.
Seiring perkembangannya kehadiran Kripto menuai berbagai reaksi pro dan kontra diberbagai negara yang masyarakatnya bertransaksi menggunakan mata uang kripto.
Baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa haram tentang penggunaan cryptocurrency atau mata uang kripto.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam dalam Forum Ijtima Ulama yang dimulai sejak Selasa (09/11) hingga ditutup pada Kamis (11/11/21).
Terdapat 12 poin pembahasan meliputi makna jihad, kriteria penodaan agama, pajak bea cukai retribusi kepentingan kemaslahatan, masa jabatan kepala negara, hukum pinjaman online, hukum transplantasi rahim, penyaluran dana zakat dalam bentuk qardhul hasan, hukum zakat perusahaan, hukum zakat saham, uang kripto, panduan pemilu hingga pemilu pilkada.
Adapun penetapan haram penggunaan mata uang kripto berdasar keputusan musyawarah.
"Ada tiga diktum hukum, yang pertama penggunaan kripto sebagai mata uang hukumnya haram karena gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 dan peraturan BI Nomor 17 tahun 2015," ungkap Asrorun, Kamis (11/11).
Keputusan pengharaman penggunaan mata uang kripto dinilai tidak memenuhi syarat sil'ah secara syar'i, yakni berwujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan dapat diserahkan ke pembeli. Kendati begitu, MUI mempersilahkan penggunaan mata uang kripto jika memenuhi unsur syarat sil'ah syar'i.
Penting diketahui, Gharar sendiri memiliki arti adanya ketidakjelasan atau ketidakpastian dalam bertransaksi yang dapat menimbulkan akibat yang bertentangan dengan syariah.
Sedangkan Dharar adalah transaksi yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, penganiayaan hingga mengakibatkan pemindahan hak kepemilikan secara batil.
Keduanya bertentangan dengan syariat sehingga dilarang dalam Islam dan hukumnya haram.
Editor :Syahrul Mubarok