Pembakaran Kitab Suci Bukan Adab Manusia Modern dan Bisa Memicu Kehancuran Peradaban

Chriswanto Santoso ketum LDII
"Kejadian semacam ini merupakan suatu langkah mundur perkembangan masyarakat yang semakin modern dan terbuka," ujarnya.
Singgih menegaskan, aksi tersebut bila dilakukan pada abad 20 atau abad-abad sebelumnya, masih bisa dipahami. Ketika itu orang masih menonjolkan semangat sektarian dan nasionalisme yang berlebihan.
"Tapi pada saat ini ketika kita hidup pada abad ke-21 tindakan seperti itu seharusnya tidak ada lagi," tambahnya.
Menurutnya pascarevolusi industri 4.0 dan memasuki masyarakat 5.0 salah satu sikap yang diperlukan adalah adanya sikap toleransi, saling menghargai, sikap kebhinnekaan, sikap saling menerima perbedaan antara satu dengan yang lain. Baik dalam hal agama dan kepercayaan suku, ras, budaya ataupun antar golongan.
"Jika terjadi pembakaran kitab suci baik Alquran, Injil dan kitab suci lainnya, itu berarti masih memanfaatkan sentimen keagamaan untuk membangun kebencian dan membangun antipati kepada kelompok yang lain," ungkapnya.
Fenomena di Eropa itu, kata Singgih sangat membahayakan proses konstruksi masyarakat 5.0 atau masyarakat pascarevolusi di era industri 4.0.
"Saya kira di era saat ini jangan sampai masalah-masalah kepercayaan atau agama dan identitas itu dijadikan sebagai alat untuk membangkitkan kebencian, sehingga memicu konflik kekerasan sosial yang terjadi di tengah masyarakat," papar Singgih.
Ia juga mengingatkan, pembakaran kitab suci yang terjadi pada era keterbukaan informasi, dapat memicu konflik dan kekerasan. Bahkan, bisa berimbas pada pembunuhan secara masal yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban manusia.
"Agama seharusnya lebih diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari baik secara pribadi maupun secara universal," tegasnya.
Singgih memaparkan solusi agar kejadian itu tidak berulang. Ia mengingatkan agar para pemeluk agama bersikap dan berperilaku yang baik, agar bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
"Sehingga dalam konteks itu, agama tidak mudah untuk dijadikan sebagai kampanye politik yang membangkitkan kebencian kelompok yang berbeda," urainya.
Selain itu, tambah Singgih, jangan sampai kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi digunakan untuk memancing kemarahan atau reaksi dari kelompok lain yang bersifat destruktif. Kebebasan berekspresi harus bisa dipertanggungjawabkan dan juga bisa dijiwai oleh semangat tepo sliro atau mawas diri.
"Jika kita tidak mau dicubit maka jangan sekali-kali mencubit orang lain. Jika kita tidak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Kita harus punya perasaan empati," pungkasnya. (ghoni)
Read more info "Pembakaran Kitab Suci Bukan Adab Manusia Modern dan Bisa Memicu Kehancuran Peradaban" on the next page :
Editor :Tim Sigapnews
Source : Lines ldii